JANGANLAH MENIKAH KARENA PAKSAAN ( MEMAKNAI PERJODOHAN YANG DIPAKSAKAN
DALAM SUDUT PANDANG HUKUM NEGARA DAN HUKUM AGAMA ISLAM )
“[4:19] Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Perjodohan yang dipaksakan atau dikenal dengan “Kawin paksa” dalam arti
bahasa berasal dari dua kata “kawin” dan “paksa”. Kawin dalam kamus
Bahasa Indonesia berarti perjodohan antara laki-laki dan perempuan
sehingga menjadi suami dan istri, sedangkan paksa adalah perbuatan
(tekanan, desakan dan sebagainya) yang mengharuskan (mau tidak mau atau
dapat harus…). Sedangkan dalam kamus ilmiah popular paksa adalah
mengerjakan sesuatu yang diharuskan walaupun tidak mau. Jadi kedua kata
tersebut jika digabungkan akan menjadi kawin paksa yang berarti suatu
perkawinan yang dilaksanakan tidak atas kemauan sendiri (jadi karena
desakan atau tekanan) dari orang tua ataupun pihak lain yang mempunyai
hak untuk memaksanya menikah.
Sedangkan secara istilah fiqih kawin paksa merupakan salah satu fenomena
sosial yang timbul akibat tidak adanya kerelaan diantara pasangan untuk
menjalankan perkawinan, tentunya ini merupakan gejala sosial dan
masalah yang timbul ditengah-tengah masyarakat kita. Kawin paksa ini
muncul tentunya banyak motiv yang melatar belakanginya, misalnya ada
perjanjian diantara orang tua yang sepakat akan menjodohkan anaknya, ada
juga karena faktor keluarga, atau bahkan ada karena calon mertua
laki-laki kaya.
Secara hukum kawin paksa adalah perkawinan yang dilaksanakan tanpa
didasari atas persetujuan kedua calon mempelai, hal ini bertentangan
dengan pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi:
“Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.
Syarat pernikahan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
yang akan melangsungkan perkawinan. Adanya persetujuan kedua calon
mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan dimaksudkan agar supaya
setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga
dalam perkawinan. Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-Undang
Perkawinan, dapat dihubungkan dengan sistem perkawinan pada zaman dulu,
yaitu seorang anak harus patuh pada orang tuanya untuk bersedia
dijodohkan dengan orang yang dianggap tepat oleh orang tuanya. Sebagai
anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang tuanya, walaupun
kehendak anak tidak demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa,
Undang-Undang Perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami
atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal
27 ayat (1) apabila paksaan untuk itu dibawah ancaman yang melanggar
hukum.
Perjodohan adalah salah satu cara yang ditempuh masyarakat dalam
menikah. Tak ada ketentuan dalam syariat yang mengharuskan atau
sebaliknya melarang perjodohan. Islam hanya menekankan bahwa hendaknya
seorang Muslim mencari calon istri yang shalihah dan baik agamanya.
Begitu pula sebaliknya.
Pernikahan melalui perjodohan ini sudah lama usianya. Di zaman Rasul saw
pun pernah terjadi. Aisyah ra yang kala itu masih kanak-kanak
dijodohkan dan dinikahkan oleh ayahnya dengan Rasulullah saw. Setelah
baligh, barulah Ummul Mukminin Aisyah tinggal bersama Rasul saw. Dalam
sebuah hadits shahih disebutkan, seorang sahabat meminta kepada Rasul
saw agar dinikahkan dengan seorang Muslimah. Akhirnya, ia pun dinikahkan
dengan dengan mahar hapalan al-Qur’an. Dalam konteks ini, Rasul saw
yang menikahkan pasangan sahabat ini berdasarkan permintaan dari sahabat
laki-laki. Meskipun didasarkan pada permintaan, toh perintah pernikahan
datang dari orang lain, yaitu Rasul saw. Tentu saja dengan persetujuan
dari mempelai perempuan.
Ringkasnya, perjodohan hanyalah salah satu cara untuk menikahkan. Orang
tua dapat menjodohkan anaknya. Tapi hendaknya meminta izin dan
persetujuan dari anaknya, agar pernikahan yang diselenggarakan,
didasarkan pada keridhaan masing-masing pihak, bukan keterpaksaan.
Pernikahan yang dibangun di atas dasar keterpaksaan, jika terus
berlanjut, akan mengganggu keharmonisan rumah tangga. Wallahu a’lam.
Dalam pernikahan ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Salah satunya
adalah kerelaan calon isteri. Wajib bagi wali untuk menanyai terlebih
dahulu kepada calon isteri, dan mengetahui kerelaannya sebelum diaqad
nikahkan. Perkawinan merupakan pergaulan abadi antara suami isteri.
Kelanggengan, keserasian, persahabatan tidaklah akan terwujud apabila
kerelaan pihak calon isteri belum diketahui. Islam melarang menikahkan
dengan paksa, baik gadis atau janda dengan pria yang tidak disenanginya.
Akad nikah tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak menuntut
dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa
tersebut (Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 7).
Perjodohan yang dilakukan orang tua untuk anak, hanyalah salah satu
jalan untuk menikahkan anaknya itu dengan seseorang yang dianggap tepat
menurut mereka. Padahal tepat menurut orang tua belum tentu tepat
menurut sang anak. Orang tua boleh-boleh saja menjodohkan anaknya dengan
orang lain, tapi hendaknya tetap meminta izin dan persetujuan dari
anaknya, agar pernikahan yang dilaksanakan nantinya berjalan atas
keridhoan masing-masing pihak, bukan keterpaksaan. Karena pernikahan
yang dibangun di atas dasar keterpaksaan adalah harom hukumnya, dan jika
terus berlanjut, hanya akan mengganggu keharmonisan dalam berumah
tangga anaknya kelak.
Dan orang tua, hendaknya tidak semena-mena terhadap anak. Jangan karena
anaknya enggan menerima tawaran dari orang tua, lalu mengatakan kepada
anaknya bahwa dia adalah anak yang durhaka, jangan! Tapi hendaknya orang
tua harus memahami kondisi psikologis sang anak dan harapan akan jodoh
yang diidamkannya. Sebab bila dilihat dari pertimbangan-pertimbangan
syar’i, hak-hak anak sangat diperhatikan. Islam datang untuk
memfasilitasi antara hak-hak dan kewajiban seorang anak untuk menikah
tanpa sama sekali melepaskan peran orang tua di dalamnya.
Coba kita tengok sekilas kisah di zaman Rasul dulu. Suatu ketika Habibah
binti Sahl datang kepada Rasulullah SAW. Dia berkata, “Kalau bukan
karena takut kepada Allah ketika dia masuk, niscaya sudah kuludahi
mukanya.”
Memang sebelumnya Habibah belum pernah melihat suaminya sampai saat
malam pertama tiba. Sebagaimana wanita di zamannya, dia masih percaya
pada orang tua dalam memilih jodoh. Tak terpikir olehnya, bahwa orang
tua yang dicintainya akan tega memilihkan suami untuk dirinya seperti
Tsabit bin Qois, yang baik kadar imannya namun buruk rupanya.
Habibah mengungkapkan kekecawaannya pada Rasul, “Ya Rasulullah, aku
mempunyai wajah yang cantik sebagaimana engkau lihat, sedang Tsabit
adalah laki-laki yang buruk rupanya.” Inilah yang telah membuat Habibah
tidak bisa sepenuhnya menerima Tsabit sebagai suaminya, tentu masih
dengan masalah klasik : wajah.
“Wahai Rasulullah, kepalaku tidak dapat bertemu dengan kepala Tsabit
selamanya. Aku pernah menyingkap kemah, lalu aku melihat dia sedang
bersiap-siap, ternyata ia sangat hitam kulitnya, sangat pendek tubuhnya,
dan sangat buruk wajahnya. Ya Rasulullah, aku tidak mencela akhlak
maupun agama suamiku. Tapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam,”
tukas Habibah.
Rasulullah SAW bertanya, “Maukah engkau mengembalikan kebun pemberian
suamimu?”
Habibah menjawab, “Ya,”
Maka Rasulullah SAW bersabda, “Terimalah kebun itu hai Tsabit, dan
jatuhkanlah talak satu kepadanya!”
Atas perintah rasul, akhirnya mereka bercerai. Inilah kisah khulu’
(gugatan cerai istri kepada suami) yang terjadi pertama kali dalam
sejarah hukum Islam.
Sedang di sisi lain, banyak pula para sahabat yang menikah tanpa melalui
proses perjodohan. Salah satu contohnya, sahabat Rasul, Jabir ra, yang
menikahi seorang janda. Rasulullah bertanya kepadanya mengapa tidak
menikahi seorang gadis agar dapat bersenda gurau dengannya. Jabir ra
beralasan, karena dia punya adik kecil-kecil yang masih butuh asuhan
sehingga ia menikahi janda tersebut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar