Minggu, 01 September 2013

Hukum Pernikahan karena Paksaan Orang Tua

Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى ‎ ‎تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ‏‎ ‎الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ‏‎ ‎قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ‏‎ ‎وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ‏‎ ‎
تَسْكُتَ
“Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الثَّيِّبُ أَحَقُّ‏‎ ‎بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا‎ ‎وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا‎ ‎أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا‎ ‎وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا

“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Muslim no. 1421)

Dari Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariyah radhiallahu anha:

أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا‎ ‎وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ‏‎ ‎ذَلِكَ فَأَتَتْ النَّبِيَّ‏‎ ‎صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ‏‎ ‎وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا

“Bahwa ayahnya pernah menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang tidak disukainya. Maka dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk mengadu) maka Nabi shallallahu alaihi wasallam membatalkan pernikahannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5138)

Al-Bukhari memberikan judul bab terhadap hadits ini, “Bab: Jika seorang lelaki menikahkan putrinya sementara dia tidak senang, maka nikahnya tertolak (tidak sah).”

Penjelasan ringkas:
Di antara kemuliaan yang Allah Ta’ala berikan kepada kaum wanita setelah datang Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak penuh dalam menerima atau menolak suatu lamaran atau pernikahan, yang mana hak ini dulunya tidak dimiliki oleh kaum wanita di zaman jahiliah. Karenanya tidak boleh bagi wali wanita manapun untuk memaksa wanita yang dia walikan untuk menikahi lelaki yang wanita itu tidak senangi.
Karena menikahkan dia dengan lelaki yang tidak dia senangi berarti menimpakan kepadanya kemudharatan baik mudharat duniawiah maupun mudharat diniah (keagamaan). Dan sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam telah membatalkan pernikahan yang dipaksakan dan pembatalan ini menunjukkan tidak sahnya, karena di antara syarat sahnya pernikahan adalah adanya keridhaan dari kedua calon mempelai.
Akan tetapi larangan memaksa ini bukan berarti si wali tidak punya andil sama sekali dalam pemilihan calon suami wanita yang dia walikan. Karena bagaimanapun juga si wali biasanya lebih pengalaman dan lebih dewasa daripada wanita tersebut. Karenanya si wali disyariatkan untuk menyarankan saran-saran yang baik lalu meminta pendapat dan izin dari wanita yang bersangkutan sebelum menikahkannya. Tanda izin dari wanita yang sudah janda adalah dengan dia mengucapkannya, sementara tanda izin dari wanita yang masih perawan cukup dengan diamnya dia, karena biasanya perawan malu untuk mengungkapkan keinginannya.

Berikut beberapa fatwa ulama seputar permasalahan ini.

Perbuatan Seorang Ayah Memaksa Putrinya untuk Menikah adalah Haram

Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah ditanya:
Saya memiliki saudara perempuan seayah, kemudian ayah saya menikahkannya dengan laki-laki tanpa keridhaannya dan tanpa meminta pertimbangan kepadanya, padahal dia telah berumur 21 tahun. Ayah saya telah mendatangkan saksi palsu atas akad nikahnya, bahwa dia (saudari saya) menyetujui akan hal tersebut. Dan ibunya ikut terjerumus menjadi pengganti dia dalam mengadakan akad. Demikianlah, akad pun selesai dalam keadaan saudari saya senantiasa meninggalkan suaminya tersebut. Apa hukum akad nikad itu dan persaksian palsu tersebut?
Maka beliau rahimahullah menjawab:
Saudari perempuan tersebut, apabila dia masih gadis dan dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengam laki-laki tersebut, sebagian ahlul ilmi berpendapat sahnya nikah tersebut. Dan mereka memandang bahwa sang ayah berhak untuk memaksa putrinya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disenangi putrinya apabila laki-laki tersebut sekufu’ [1] dengannya. Akan tetapi pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini, bahwasanya tidak halal bagi sang ayah atau selainnya memaksa anak yang masih gadis untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya, meskipun sekufu’. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Wanita gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.”
Ini umum, tidak ada seorang wali pun yang dikecualikan darinya. Bahkan telah warid dalam “Shahih Muslim”:
“Wanita gadis, ayahnya harus minta izin kepadanya.”
Hadits ini memberikan nash atas wanita gadis dan nash atas ayahnya. Nash ini, apabila terjadi perselisihan (antara ayah dan putrinya), maka wajib untuk kembali kepada nash ini. Berdasarkan hal ini, maka perbuatan seseorang memaksa putrinya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya adalah perbuatan haram. Sedang sesuatu yang haram tidak sah dan tidak pula berlaku. Sebab pemberlakuan dan pengesahannya bertentangan dengan larangan yang warid dalam masalah ini. Dan apa saja yang dilarang syariat ini maka sesungguhnya menginginkan dari umat ini agar tidak mengaburkan dan melakukannya. Kalau kita mengesahkan pernikahan tersebut, maknanya kita telah mengaburkan dan melakukan larangan tersebut serta menjadikam akad tersebut sama dengan akad nikah yang diperbolehkan oleh Pembuat syariat ini. Ini adalah suatu perkara yang tidak boleh terjadi. Maka berdasarkan pendapat yang rajih ini, perbuatan ayah anda menikahkan putrinya tersebut dengan laki-laki yang tidak disukainya adalah pernikahan yang fasid (rusak), wajib untuk mengkaji ulang akad tersebut di hadapan pihak mahkamah.
Adapun bagi saksi palsu, maka dia telah melakukan dosa besar sebagaimana tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar?”
Kemudian beliau pun menyebutkannya dan pada waktu itu beliau bersandar kemudian duduk dan mengatakan:
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar? Maka kami (para shahabat) menjawab: “Tentu ya Rasulullah!” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah Azza wa Jalla dan durhaka kepada orang tua.” Pada waktu itu beliau bersandar kemudian duduk seraya mengatakan: “Ingatlah, dan perkataan dusta, ingatlah, dan perkataan dusta, ingatlah, dan persaksian palsu…!” Beliau terus mengulanginya hingga para shahabat mengatakan, “Semoga beliau diam”.
Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan persaksian palsu. Wajib bagi mereka untuk bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan mengatakan perkataan yang haq (benar), dan hendaknya dia menjelaskan kepada hakim yang resmi bahwa mereka telah melakukan persaksian palsu dan bahwasanya mereka mencabut kembali persaksian tersebut. Demikian juga si ibu, yang mana dia telah terjerumus menggantikan putrinya dengan dusta, dia telah berdosa dengan perbuatan tersebut dan wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak melakukan kembali perbuatan yang semisalnya. [Fatawa Al-Mar'ah]

Tidak Boleh Seorang Ayah Memaksa Putranya untuk Menikah dengan Wanita yang Tidak Disenanginya

Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin juga ditanya:
Apa hukumnya jika seorang ayah ingin menikahkan putranya dengan wanita yang bukan shalihah? Dan apa hukumnya apabila dia tidak mau menikahkannya dengan wanita yang shalihah?
Maka beliau rahimahullah pun memberi jawaban:
Tidak boleh seoramg ayah memaksa putranya untuk menikahi wanita yang tidak disukainya, baik dikarenakan aib yang ada pada wanita tersebut berupa aib dien, tubuhnya atau akhlaknya. Betapa banyak orang-orang yang menyesal ketika memaksa anak-anaknya untuk menikah dengan wanita-wanita yang tidak disukainya. Akan tetapi, dia mengatakan: “Nikahilah dia, sebab dia itu anak saudaraku atau karena dia itu dari kabilahmu” dan alasan yang lainnya. Maka tidak mengharuskan bagi si anak untuk menerimanya dan tidak boleh bagi orang tua untuk memaksa putranya agar menikahi wanita tersebut. Demikian juga, kalau seandainya si anak ingin menikah dengan wanita yang shalihah, kemudian sang ayah menghalang-halanginya, maka hal itu tidak mengharuskan bagi si anak untuk mentaatinya, apabila si anak memang senang dengan wanita shalihah tersebut dan ayahnya mengatakan, “Kamu tidak boleh nikah dengannya!” maka boleh baginya untuk menikah dengan wanita tersebut walaupun dihalang-halangi oleh ayahnya. Sebab seorang anak tidak harus taat kepada ayahnya dalam perkara yang tidak membahayakan ayahnya, bahkan justru bermanfaat bagi ayahnya. Kalau kita katakan bahwasanya wajib bagi seorang anak menaati orang tuanya dalam segala sesuatu hingga dalam permasalahan yang di dalamnya terdapat manfaat bagi si anak dan tidak membahayakan ayahnya, niscaya akan timbul berbagai kerusakan. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini, hendaknya seorang anak bersikap luwes terhadap ayahnya, lemah lembut dalam memahamkannya dan semampunya berusaha agar ayahnya merasa lega. [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makky, jilid 3 hal. 224]

Menikahkan Seorang Anak Perempuan dengan Lelaki yang tidak disukainya

Fadhilatusy Syaikh Abdurrahman As-Sa’di ditanya:
Apakah boleh memaksa seorang anak perempuan untuk menikah dengan lelaki yang tidak disukainya?
Jawaban:
Tidak boleh bagi ayah perempuan itu untuk memaksa dan tidak boleh pula bagi ibunya untuk memaksa anak perempuan itu menikah, meski keduanya ridha dengam keadaan agama dari lelaki tersebut. [Al-Majmu'ah Al-Kamilah li Muallafat Asy-Syaikh As-Sa'di hal. 349/7]


0 komentar:

Posting Komentar